Senin, 13 April 2015

Gaya bahasa, Sikap dan Suara guru dalam Mengajar



GAYA BAHASA, SIKAP DAN SUARA GURU
dalam
MENGAJAR

MetodikKhususPembelajaran PAI

Dosen :Dra. Hj. Eti Hadiati, M.Pd
DisusunOleh:
1.      Bakti Andrian              : 1311010134



















TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1436 H / 2015 M






 
KATA PENGANTAR
Assamu’aikumwr. Wb.

Puji syukur  kehadirat Allah yang Maha         Esa      yang telah menganugerahkan segala bidang ilmu, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini merupakan latihan atau kegiatan untuk mengaplikasikan suatu konsep yang harus di kerjakan menurut   diskusidan pengetahuan kami.
Kami menyadari sebagai manusia biasa yang memiliki keterbatasan kemampuan, tentu hasil makalah ini takluput dari kekurangan.      
Dengan usaha, upaya        dan semangat membuat makalahini penyusun mengharapkan konstribusi pemikiran anda, baik berupa kritik maupun saran dalam penyempurnaan makalahini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…
Wassalamu’alaikumwr.wb.







Bandar Lampung, 10 Maret 2015



Penyusun







DAFTAR ISI
HalamanJudul
Kata Pengantar........................................................................................... ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
v  BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1     LatarBelakangMasalah..................................................................... 1
1.2     RumusanMasalah............................................................................. 1
1.3     TujuanPenulisan............................................................................... 1
v  BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 2
2.1 Gaya Bahasa Guru dalamPembelajaran............................................ 2
2.2 Sikap Guru danSuara guru dalampembelajaran................................ 10  
v  BAB III
v  KESIMPULAN..................................................................................... 18
v  PENUTUP............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA


















BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.
Oleh karena itu guru harus memiliki atau berkompeten didalam bidang suatu pelajaran untuk mengelola kelas dalam suasana yang menggembirakan yang dapat membuat anak didik tidak bosan untuk menyerap atau menerima pesan atau pelajaran yang diberikan guru.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Gaya Bahasa Guru yang Baik?.
2.      Apa sajakah Sikap – sikap yang harus dimiliki Guru?.
3.      Bagaimana suara yang baik yang harus dimiliki guru?.
C.           Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen dan juga untuk memberikan motivasi kepada mahasiswa/i untuk lebih giat lagi belajar dan membaca terutama pada pelajaran metode khusus pembeljaran PAI, salah satunya dalam pembahasan gaya bahasa, sikap dan suara guru dalam belajar yang harus dipahami oleh kita selaku calon pendidik dimasa mendatang.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Gaya Bahasa Guru dalam Mengajar
1. Sinisme
Sinisme merupakan gaya bahasa yang bermakna sindiran. Sindiran adalah suatu acuan untuk menyampaikan suatu maksud yang berlainan dengan rangkaian kata-kata yang digunakan. Lebih lanjut, Keraf mengatakan bahwa sinisme berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan. Ekspresi sinisme dalam IPBI dapat dilihat dalam data berikut.
(1)  G: Suaranya kayaknya.
Seperti kalau teriak, ulangi!
S: (membaca)
G: Tidak didengar! Saya saja di sini tidak dengar!
S: (mengulangi membaca)
G: Barangkali ini tidak sarapan ya sehingga suaranya tidak bisa keluar? Jadi, saya yang bacakan ya!
Tuturan (1) disampaikan guru ketika se-orang siswa yang tampil membacakan hasil pekerjaannya membaca dengan suara yang sa-ngat kecil. Dalam tuturan tersebut, guru meng-gunakan ungkapan “barangkali ini tidak sara-pan ya?” untuk menyindir siswa. Ungkapan tidak sarapan diasosiasikan dengan kurangnya tenaga yang dimiliki siswa sehingga tidak bisa mengeluarkan suara dengan keras.
Menurut Keraf, sindiran me-rupakan ekspresi yang mengandung pengekang-an yang besar. Sindiran yang disampaikan guru dalam hal ini pun mengandung pengekangan terhadap siswa. Ungkapan “barangkali ini tidak sarapan ya” memiliki makna ejekan terhadap siswa. Dalam keseharian, ungkapan tersebut sering kali digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tampil lemas atau tidak berte-naga.[1]
(2)  G: Pinjami Fauzan, ya!
G: Kasihani temanmu. Tidak ada buku paketnya, tidak ada LKS-nya,  tidak bawa contoh surat juga [  ] dipakai temani adeknya mandi di rumah, bikin kapal-kapal.
Tuturan (2) tersebut dituturkan guru ke-tika memeriksa perlengkapan belajar siswa. Pada saat itu, guru menemukan siswa yang tidak membawa perlengkapan sebagaimana yang telah disampaikan guru pada pertemuan sebelumnya. Guru kemudian meminta siswa yang lain untuk membantu siswa tersebut dengan menggunakan sindiran “kasihani temanmu”. Sindiran tersebut semakin mendominasi siswa dengan tambahan ungkapan “dipakai adeknya mandi di rumah, bikin kapal-kapal”. Meskipun diungkapkan de-ngan kata-kata yang kedengaran halus, sindiran tersebut dapat mempermalukan siswa.
Sinisme juga diungkapkan guru  dengan ungkapan yang memiliki kelangsungan makna seperti dalam data berikut.
(3)  G: Kemudian kelompok
empat! Pertama, isi cerita tidak dikuasai dengan baik. Pada akhirnya, tidak mampu menyelesaikan isi cerita di depan kelas.
G: Tidak siap! Saya tidak tahu!
G: Inilah yang terbaik dari kelompok empat. Kalau yang terbaik saja seperti ini, saya tidak bisa mengatakan apa-apa, bagaimana dengan teman kelompoknya yang lain.
G: Moga-moga saja ada yang lebih baik, itu harapam kita!

Tuturan (3) tersebut diungkapkan guru ketika mengomentari penampilan siswa yang mewakili salah satu kelompok. Dalam pandang-an guru, siswa tersebut tampil sangat mengece-wakan. Meskipun hanya mengomentari siswa yang tampil, sindiran yang diungkapkan guru dalam tuturan tersebut ditujukan kepada seluruh siswa dalam kelompok tersebut. Bahkan, sin-diran tersebut lebih melecehkan siswa yang lainnya. Secara tidak langsung, tuturan guru me-miliki makna bahwa penampilan siswa yang lain akan jauh lebih jelek lagi andai diberi kesem-patan.
Penggunaan sindiran dalam IPBI me-nunjukkan bahwa guru menggunakan pende-katan kekuasaan dalam mengelola pembelajaran. Guru menempatkan diri sebagai penguasa yang dapat mengendalikan siswa dan dapat menga-takan segala sesuatu kepada siswa. Sebaliknya, siswa yang berada dalam posisi lemah sering ka-li mendapat kritikan, cemoohan meskipun telah mengerahkan kemampuan maksimalnya. Penge-lolaan pembelajaaran dengan pendekatan otori-ter dapat menimbulkan sikap apatis.[2]Siswa belajar tidak dilandasi rasa kesenangan, tetapi keterpaksaan.
2. Hiperbola
Hiperbola merupakan ungkapan yang melebih-lebihkan. Gaya bahasa hiperbola dida-yagunakan guru untuk mengevaluasi penampilan siswa, mengeritik, dan mengarahkan. Penggu-naan hiperbola dapat dilihat dalam data berikut.
(4)  G: Ternyata kelompok dua tidak siap!
G: Kelompok dua, intinya dikasih tugas satu tahun baru bisa.
Tuturan (4) tersebut diungkapkan guru ketika seorang siswa tampil menyampaikan hasil pekerjaannya tetapi tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh guru. Guru menyimpulkan bahwa siswa yang bersangkutan tidak siap. Un-tuk mengevaluasi penampilan siswa, guru mem-berikan komentar negatif dengan gaya bahasa hiperbola. Ungkapan hiperbol guru terkandung dalam tuturan “dikasih tugas satu tahun baru bisa”. Dalam realitasnya, tugas untuk siswa di sekolah menengah tidak pernah diberikan dalam jangka waktu satu tahun. Makna dalam ungkap-an tersebut mengandung sindiran bagi siswa.
Tuturan guru dengan gaya bahasa hiper-bola dalam tuturan tersebut sangat berlebihan karena memberikan tugas kepada siswa dalam jangka waktu satu tahun adalah hal yang mus-tahil. Tuturan tersebut mendominasi siswa dan bahkan mempermalukannya di hadapan siswa lain. Tuturan demikian bahkan dapat merusak kepercayaan diri seorang siswa sehingga tidak berani tampil pada kesempatan lain.
Ungkapan hiperbol guru dalam menang-gapi penampilan siswa dapat juga dilihat dalam data berikut.
(5)  G: Gaya berceritanya
monoton, terkesan tidak menarik karena tidak menguasai alur ceritanya. Kemudian suara, intonasi nyaris tak terdengar. Bagaimana teman-temanmu yang lain bisa menyimak kalau suaranya begitu lemah? Padahal, dari awal Pak Guru sudah sampaikan bagaimana intonasinya, lalu kalimatnya ….
G: Ada pertanyaan sehubungan dengan apa yang Pak Guru koreksi tadi? Ada? Bisa dipahami?
G: Bisa ya?
Tuturan (5) disampaikan guru ketika menanggapi penampilan siswa yang bercerita. Siswa bercerita dengan suara terlalu kecil. Un-tuk mengambarkan keadaan tersebut, guru menggunakan ekspresi hiperbolais “nyaris tak terdengar”. Ungkapan itu merupakan ungkapan yang melebih-lebihkan.
Ekspresi hiperbol digunakan guru de-ngan menghubung-hubungkan antara kebiasaan siswa di rumah dengan kegiatan belajar di se-kolah. Tuturan (6) dan (7) berikut diungkapan guru dengan menghubungkan antara kebiasaan menonton televisi di rumah dengan penampilan siswa dalam belajar di sekolah.
(6)  G: Menceritakan kembali isi
cerpen sesuai dengan alur aslinya.
G: Okey, yang biasa menonton sinetron, sampai di sekolah biasanya belum sempat bernafas sudah menceritakan isi sinetron yang ditonton.
G: Semua sudah pernah membaca cerpen.
Tuturan (6) tersebut disampaikan guru ke-tika menjelaskan cara bercerita. Tuturan tersebut memiliki pranggapan bahwa (1) siswa yang me-nonton di rumah biasanya ketika sampai di sekolah segera menceritakan perihal yang diton-ton dan  (2) jika siswa bisa menceritakan perihal yang ditonton dari televisi, maka seharusnya juga bisa bercerita dengan baik dalam belajar. Tuturan guru ini bermakna sindiran bagi siswa untuk tidak sekadar hebat dalam menceritakan tontonan dari televisi, tetapi juga hebat dalam pembelajaran bercerita di sekolah.
(7)  G: Saya tidak suruh Anda
menghafal, tetapi saya suruh Anda menceritakan kembali isi cerita yang sudah Anda baca!
G: Dalam keseharian, kan Anda biasa nonton [  ] bahkan nonton itu  adalah kebutuhan Anda, mungkin melebihi kebutuhan Anda makan.
Tuturan (7) tersebut disampaikan guru ketika menjelaskan tentang kegiatan melaporkan berita. Pada kesempatan itu, guru menjelaskan bahwa berita-berita yang bisa dilaporkan siswa, salah satunya dari televisi. Tuturan tersebut me-miliki praanggapan bahwa (1) siswa selalu me-nonton televisi dan (2) menonton merupakan ke-giatan prioritas siswa dibandingkan makan se-kalipun yang merupakan kebutuhan paling po-kok. Tuturan guru memiliki makna bahwa siswa selayaknya hebat dalam melaporkan peristiwa karena mereka selalu menonton televisi.
Penggunaan ekspresi hiperbol dalam IPBI merupakan ekspresi yang mendominasi siswa. Melalui ekspresi hiperbol, guru menyam-paikan evaluasi atau kritikan yang berlebih-le-bihan sehingga menempatkan siswa dalam posi-si yang terdominasi. Menurut Naim dalam menghadapi siswa, guru harus mengede-pankan sikap objektif. Sikap objektif merupakan bentuk usaha dari seorang guru untuk memaha-mi dan menyikapi setiap persoalan secara pro-porsional. Sikap objektif akan menjadikan guru mampu menghadapi siswa dengan penuh kearif-an. Sebaliknya, sikap emosional kerap menjeru-muskan guru dalam subjektivitas.[3]
Dalam mengevaluasi dan mengoreksi pe-nampilan siswa, objektivitas penting dikede-pankan guru. Setiap siswa memiliki keterbatasan dan sering kali mereka tidak mampu memenuhi kriteria minimal sekalipun. Oleh karena itu, guru perlu  bersikap objektif dan memahami bahwa siswa memiliki variasi individual, memiliki keterbatasan. Jika harus menyampaikan kritik, maka kritikan itu dilakukan dengan santun, tidak mempermalukan, dan tidak melukai perasaan siswa.
3. Sarkasme
Sarkasme merupakan celaan getir yang mengandung kepahitan. Sarkasme menyakiti hati dan kurang enak didengar.  Sarkasme merupakan bentuk sindiran yang didayagunakan guru dalam IPBI. Sarkasme digunakan guru untuk mengoreksi perilaku tidak disiplin siswa. Berikut data yang mengandung gaya bahasa sar-kasme.
(8)  G : Kalau yang tidak punya
kedisiplinan itu apa anak-anak?
S  : Binatang!
G :Binatang dan hewan bukan anak sekolah
Tuturan (8) tersebut diungkapkan guru untuk menanggapi perilaku tidak disiplin yang ditunjukkan siswa. Pada saat itu, dua orang siswa terlambat datang dan langsung diinteroga-si oleh guru. Dalam tuturan tersebut, guru mem-bandingkan binatang dengan siswa. Tuturan ter-sebut memiliki praanggapan bahwa (1) perilaku tidak disiplin hanya dimiliki binatang dan (2) siswa yang tidak disiplin sama dengan binatang.
Tuturan tersebut akan menyakitkan bagi siswa yang bersangkutan sebab  mereka disama-kan dengan binatang. Penggunaan ungkapan binatang dan hewan bukan anak sekolah mem-berikan makna bahwa yang bersangkutan berperilaku seperti binatang. Dengan demikian, mereka tidak patut disebut anak sekolah.
(9)  G: Baik, tentunya Anda ingin
tahu kelompok siapa yang terbaik penampilannya dari yang ada! Berapa?
S:  Pertama!
G: Kelompok pertama dengan jumlah nilai 56.
G: Posisi pertama dari belakang. Yang paling kurang maksimal adalah kelompok dua. Saya tidak tahu ada apa dengan kalian? Tidak siap!
Tuturan (9) dituturkan guru di akhir pembelajaran ketika menyampaikan nilai yang diperoleh siswa. Guru menyampaikan urutan-urutan kelompok siswa dari yang terbaik hingga yang paling kurang. Penyampaian dengan mimik serius dari guru menimbulkan kesan penghinaan bagi siswa. Apalagi dengan penggunaan tuturan “posisi pertama dari belakang” dan “paling kurang maksimal” mengesankan bahwa penam-pilan siswa sungguh buruk.
Penggunaan sarkasme menunjukkan bahwa guru menerapkan pendekatan kekuasaan dalam IPBI. Dalam menegakkan kedisiplinan dan mengevaluasi penampilan siswa, guru tidak segan-segan  menggunakan ungkapan yang da-pat menyakiti perasan siswa. Guru merasa me-miliki kewenangan dan kekuasaan mengungkap-kan ungkapan tertentu kepada siswa. Pilihan bahasa yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang dapat menyakiti hati siswa disebabkan oleh posisi guru yang dominan terhadap siswa. Do-minasi guru diperoleh melaui kewenangan yang dimiliki maupun akses pada ilmu pengetahuan. Posisi siswa dengan guru yang tidak setara mempengaruhi pilihan-pilihan bahasa guru.
Menurut Yamin Dalam berkomunikasi di dalam kelas, prinsip memanusiakan anak didik merupakan salah satu pendekatan yang harus diutamakan. Komunikasi dibangun atas dasar saling melengkapi dan saling mengisi, saling memberi penguatan, bukan saling menjatuh-kan. Komunikasi yang setara akan membangun relasi yang solid sehingga menutup ruang untuk saling menindas.
Freire mengemuka-kan bahwa komunikasi dalam pendidikan harus menghindarkan diri dari segala bentuk penin-dasan. Melalui komunikasi yang setara, guru dapat meluruskan hal salah dan keliru tanpa melukai perasaan siswa. Hal inilah yang meru-pakan salah satu dimensi dari pendidikan kritis yang harus dikembangkan dalam interaksi de-ngan siswa.[4]
4. Eufemisme
Eufemisme merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan yang halus dalam mengungkapkan suatu realitas. Eufemisme digu-nakan untuk menjaga kesopanan dan menghin-dari ungkapan yang menyakitkan mitra tutur. Eufemisme dalam IPBI dapat dilihat dalam data berikut.
(10)   G: Jangan mempersulit diri
sendiri! Maksudnya, coba ingat kejadian atau peristiwa yang pernah Anda saksikan di sekeliling Anda! Yang sebenarnya Anda punyai banyak pengalaman, banyak  kejadian yang pernah Anda lihat ….
G: Hanya beberapa orang yang lumayan bagus, paling tidak  mentalnya, bahasanya, sudah cukup lancar.
Tuturan (10) merupakan komentar guru dalam mengevaluasi hasil belajar siswa. Dalam penilaian guru, secara umum hasil belajar siswa buruk. Namun, dalam memberikan evaluasi guru ingin menjaga relasi dengan siswa melalui ekspresi eufemisme. “Hanya beberapa orang yang lumayan bagus” memiliki makna bahwa (1) tidak seorang pun siswa yang memenuhi kriteria bagus dan (2) sebagian besar hasil pe-kerjaan yang lain berkategori tidak bagus. Peng-gunaan eufemisme tersebut bertujuan meng-hindari komentar yang dapat menyakiti atau menurunkan motivasi belajar siswa.
(11)  G: Saya amati beberapa pekerjaan dalam
mengambil kesimpulan, itu  tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tuturan (11) merupakan cuplikan kome-ntar guru yang memberikan penilaian terhadap hasil pekerjaan siswa. Eufemisme “itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan” memiliki makna bahwa kesimpulan yang diberikan oleh siswa salah. Pendayagunaan eufemisme dalam tuturan tersebut menghindarkan guru dari pemberian kritikan secara langsung.
Eufemisme juga digunakan guru untuk menyindir siswa. Penggunaan eufemisme yang bertujuan menyindir dapat diperhatikan dalam data berikut.
(12)  G: Silakan dikumpul!
Selesai tidak selesai dibawa ke depan!
G: Fina! (memohon segera dikumpul)
G: Sebenarnya pekerjaan ini hanya 15 menit!
Tuturan (15) disampaikan guru untuk menyindir siswa yang mengerjakan tugas mele-wati batas ideal waktu pengerjaan. Dalam pan-dangan guru, tugas yang diberikan dapat disele-saikan dalam 15 menit saja. Namun, dalam kenyataannya, siswa tidak mampu menyelesai-kan tugas dalam batas waktu tersebut. Peng-gunaan eufemisme “Sebenarnya pekerjaan ini hanya 15 menit!”  bermakna sindiran kepada siswa bahwa mereka terlalu lambat dalam men-yelesaikan tugas.
Penggunaan eufemisme dalam IPBI da-lam tuturan (13), (14), dan (15) bertujuan menyamarkan dominasi guru dalam memberikan kontrol terhadap siswa. Makna dari kritikan ataupun evaluasi yang disampaikan guru terke-san jauh dari sikap arogansi. Guru memberikan evaluasi tetapi tidak terkesan menggurui. Guru menyalahkan siswa, tetapi tidak melukai peras-aan mereka. Hal ini sangat kontras dengan peng-gunaan sindiran melalui gaya bahasa sarkasme (diseufemisme). Dalam relasi kekuasaan, Buordieu dalam Rusdiarti mengemukakan bahwa bentuk eufemisme merupakan wujud dari penguasaan simbolik. Senada dengan itu, Drummond mengemukakan bahwa simbol dapat digunakan untuk mengendalikan perilaku orang lain dengan cara menem-patkan mereka pada posisi penting. Penggunaan kritikan yang berlebihan dalam IPBI dapat membuat siswa merasa diri tidak penting, tidak berguna atau tidak mampu. Dengan meng-gunakan eufemisme, kritikan guru tidak terasa memojokkan siswa sehingga mereka tetap merasa menjadi bagian penting dari proses pembelajaran.
B. Sikap atau Prilaku Gurudan Suara Guru dalam Mengajar
Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.[5] Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.

v  Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen dalam Walgito menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek.[6] Berkowitz, dalam Azwar menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi atau respon atau kecenderungan untuk bereaksi.[7] Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:
a)        Komponen kognitif, Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.
b)        Komponen afektif Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif..komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.[8]
c)        Komponen konati, Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.
Katz sebagaimana yg dikutip oleh Walgitomenjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi,[9] yaitu:
a)        Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.
b)        Fungsi pertahanan ego, Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.
Fungsi ekspresi nilai, Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan. Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.
Azwar menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.
2. Pertanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan langsung
Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.
v  Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
1. mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
2. menunggu peserta didik berperilaku negatif,
3. menggunakan destruktif discipline,
4. mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
5. merasa diri paling pandai di kelasnya,
6. tidak adil (diskriminatif), serta
7. memaksakan hak peserta didik.
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
1. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
2. kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
3. kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
4. kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
C. Suara Guru dalam Mengajar
v Variasi suara
Variasi suara dalah perubahan suara dari keras menjadi lemah, dan tinggi menjadi rendah, dari cepat menjadi lambat.Suarang guru pada saat menjelaskan materi pelajaran hendaknya bervariasi, baik dalam intonasi, volume, nada dan kecepatan. Jika suara guru senantiasa keras terus atau terlalu keras, justru akan sulit diterima, karena siswa menganggap gurunya seorang yang kejam, bila sudah begitu siswa diliputi oleh rasa cemas, ketakutan selama belajar.
Masalah seperti ini yang harus dihindari bahkan ditiadakan. Tapi kalau suara guru terlalu lemah (biasanya guru wanita) akan terdengar tidak jelas oleh siswa dan tidak bisa menjangkau seluruh siswa di kelas, apalagi yang duduknya dideretan belakang. Bila sudah begitu siswa akan meremehkan gurunya, perhatian siswa terhadap materi yang diberikan itupun kurang. Untuk itu guru menggunakan variasi suara yang disesuaikan ndengan situasi dan kondisi. Jadi suara guru senantiasa berganti-ganti, kadang meninggi, kadang cepat, kadang lambat, kadang rendah (pelan).
Variasi suara bisa mempengaruhi informasi yang sangat biasasekalipun, gunakanlah bisikan atau tekanan suara untuk hal-hal penting, gunakan kalimat pendek yang cepat untuk menimbulkan semangat.
Lagu bicara atau intonasi suara mempunyai pengaruh pada dayatangkap siswa terhadap pembicaraan guru. Lagu bicara yang datar (monoton) akan membosankan siswa, sehingga siswa cepat lelah dalam mendengarkan. Demikian pula lagu bicara yang naik turun atau bersendat-sendat.
Hal seperti ini sering menjadi bahan tertawaan siswa dan cenderung ditirukan dengan maksud mengejek, akibatnya konsentrasi mereka rusak. Disini juga menganjurkan adanya tekanan bicara, yang mana diberikan pada hal-hal yang penting, misalnya dalam menyebutkan definisi, istilah, nama, rumus, dan kata-kata asing dengan ucapan
pelan-pelan dan jelas dengan volume suara yang cukup. Kelancaran bicara juga patut diperhatikan karena mempunyai pengaruh yang besar pada daya tangkap siswa.

Jadi, seyogyanya sebelum satu kalimat dikeluarkan atau dibicarakan lebih dulu difikirkan susunan yang benar ditinjau dari segi tata bahasa. Ucapan bahasa daerah sebaiknya tidak dipergunakan.
Suara guru memiliki peranan penting dalam melahirkan kualitas variasi mengajar.Karena itu , intonasi , nada , volume dan kecepatan suara guru perlu diatur dengan baik.Umpannya dalam melukiskan dan mendramatisasikan suatu peristiwa atau kata , guru mesti mengetahui kata atau peristiwa yang harus mendapat penekanan.

Jadi beberapa hal yang perlu di perhatikan guru , sebagai berikut :
·       Penekanan , penekanan dilakukan kepada beberapa peristiwa atau kata kunci dalam materi pelajaran yang tengah disampaikan agar siswa memahami aspek - aspek yang terpenting dari materi pelajaran yang diterimanya.
·       Pemberian waktu, setelah guru menyampaikan materi pelajaran, siswa perlu diberi waktu untuk menelaah kembali dan mengorganisasikan pertanyaan
·       Kontak Pandang, Selama menyampaikan materi pelajaran tidak dibenarkan seorang guru hanya memandang ke luar , ke atas atau ke siswa tertentu saja.Guru hendaklah berbagi pandangan kepada seluruh siswa
·       Gerakan Anggota Badan, Selama menyampaikan materi,seorang guru hendaklah tidak seperti patung atau tidak seperti orang yang lumpuh .Guru perlu bergerak secara leluasa seperti mengelilingi siswa atau bergerak di depan kelas.
·       Pindah posisi ,Dengan bergerak berarti guru tidak berada dalam satu posisi saja, melainkan ia berpindah - pindah.Perpindahan posisi ini selain bermanfaat bagi guru itu sendiri agar tidak jenuh , juga agar perhatian siswa tidak monoton.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Wujud gaya bahasa yang didayagunakan guru dalam interaksi pembelajaran, meliputi: (1) sinisme, (2) hiperbola,  (3) sarkasme, dan (4) eufemisme. Gaya bahasa tersebut menunjukkan posisi guru yang mendominasi siswa dalam interaksi pembelajaran. Relasi guru-siswa menunjukkan posisi yang tidak seimbang. Guru berada pada posisi mengontrol, sedangkan siswa dalam posisi yang dikontrol. Penggunaan gaya bahasa tersebut memiliki efek secara psikologis terhadap siswa, misalnya mempermalukan siswa, menekan, dan mengekang.
            Sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek.
            Suara adalah perubahan suara dari keras menjadi lemah, dan tinggi menjadi rendah, dari cepat menjadi lambat.Suarang guru pada saat menjelaskan materi pelajaran hendaknya bervariasi, baik dalam intonasi, volume, nada dan kecepatan. Jika suara guru senantiasa keras terus atau terlalu keras, justru akan sulit diterima, karena siswa menganggap gurunya seorang yang kejam, bila sudah begitu siswa diliputi oleh rasa cemas, ketakutan selama belajar.
Masalah seperti ini yang harus dihindari bahkan ditiadakan.

B. Penutup
           Dalam Penulisan Makalah ini, penulis merasa masih banyak kekurangan, baik dalam bahasa maupun penulisannya. Hal tersebut tidak lain karena dari keterbatasan penulis dari ilmu pengetahuan dan kemampuan penulis  yang dimiliki. Sekalipun demikian, mudah – mudahan Makalah ini dapat Berguna dan Bermanfaat bagi penulis dan umumnya bagi pendengar.







DAFTAR PUSTAKA

Keraf, Gorys. 2002, Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Abdul Azis Wahab. 2008,Metode dan Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Naim, Ngainum. 2009, Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paolo. Tanpa Tahun. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. 2007, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyasa. 2005, Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Walgito, Bimo. 1990,Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1]Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001)., hlm. 33
[2]Abdul Azis Wahab. Metode dan Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial.(Bandung: Alfabeta. 2008)., hlm. 17
[3]Naim, Ngainum. Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009)., hlm. 45
[4]Freire, Paolo. Tanpa Tahun. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007)., hlm. 9

[5] Mulyasa. Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005)., hlm. 10
[6]Walgito, Bimo. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. 1990)., hlm. 108
[7]Azwar Saifuddin, Sikap Manusia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000)., hlm. 5
[8]Op.cit., hlm. 26
[9]Op.cit.,hlm. 180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar