GAYA BAHASA, SIKAP DAN SUARA GURU
dalam
MENGAJAR
MetodikKhususPembelajaran PAI
Dosen
:Dra. Hj. Eti Hadiati, M.Pd
DisusunOleh:
1. Bakti Andrian : 1311010134
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1436 H / 2015 M
KATA
PENGANTAR
Assamu’aikumwr.
Wb.
Puji syukur kehadirat
Allah yang Maha Esa yang telah menganugerahkan segala bidang ilmu, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini.
Penyusunan
makalah ini merupakan latihan atau kegiatan untuk mengaplikasikan suatu konsep
yang harus di kerjakan menurut diskusidan
pengetahuan kami.
Kami
menyadari sebagai manusia biasa yang memiliki keterbatasan kemampuan, tentu hasil
makalah ini takluput dari kekurangan.
Dengan
usaha, upaya dan semangat membuat makalahini penyusun mengharapkan konstribusi
pemikiran anda, baik berupa kritik maupun saran dalam penyempurnaan makalahini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…
Wassalamu’alaikumwr.wb.
Bandar
Lampung, 10 Maret 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
HalamanJudul
Kata Pengantar...........................................................................................
ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
v
BAB
I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 LatarBelakangMasalah..................................................................... 1
1.2 RumusanMasalah............................................................................. 1
1.3 TujuanPenulisan............................................................................... 1
v
BAB
II PEMBAHASAN ..................................................................... 2
2.1
Gaya Bahasa Guru dalamPembelajaran............................................ 2
2.2
Sikap Guru danSuara guru dalampembelajaran................................ 10
v
BAB
III
v
KESIMPULAN..................................................................................... 18
v
PENUTUP............................................................................................. 18
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kesalahan
guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru
secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya
sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa,
menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat
memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari
sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah
frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak
benar.
Oleh karena
itu guru harus memiliki atau berkompeten didalam bidang suatu pelajaran untuk
mengelola kelas dalam suasana yang menggembirakan yang dapat membuat anak didik
tidak bosan untuk menyerap atau menerima pesan atau pelajaran yang diberikan
guru.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Gaya Bahasa Guru yang Baik?.
2. Apa
sajakah Sikap – sikap yang harus dimiliki Guru?.
3. Bagaimana
suara yang baik yang harus dimiliki guru?.
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen dan juga untuk memberikan
motivasi kepada mahasiswa/i untuk lebih giat lagi belajar dan membaca terutama
pada pelajaran metode khusus pembeljaran PAI, salah satunya dalam pembahasan
gaya bahasa, sikap dan suara guru dalam belajar yang harus dipahami oleh kita
selaku calon pendidik dimasa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gaya Bahasa Guru dalam Mengajar
1. Sinisme
Sinisme merupakan gaya bahasa yang bermakna sindiran.
Sindiran adalah suatu acuan untuk menyampaikan suatu maksud yang berlainan
dengan rangkaian kata-kata yang digunakan. Lebih lanjut, Keraf mengatakan bahwa
sinisme berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan. Ekspresi sinisme dalam
IPBI dapat dilihat dalam data berikut.
(1) G: Suaranya
kayaknya.
Seperti kalau teriak, ulangi!
S: (membaca)
G: Tidak didengar! Saya saja di sini tidak dengar!
S: (mengulangi membaca)
G: Barangkali ini tidak sarapan ya sehingga
suaranya tidak bisa keluar? Jadi, saya yang bacakan ya!
Tuturan (1) disampaikan guru ketika se-orang siswa yang
tampil membacakan hasil pekerjaannya membaca dengan suara yang sa-ngat kecil.
Dalam tuturan tersebut, guru meng-gunakan ungkapan “barangkali ini tidak
sara-pan ya?” untuk menyindir siswa. Ungkapan tidak sarapan diasosiasikan
dengan kurangnya tenaga yang dimiliki siswa sehingga tidak bisa mengeluarkan
suara dengan keras.
Menurut Keraf, sindiran me-rupakan ekspresi yang mengandung
pengekang-an yang besar. Sindiran yang disampaikan guru dalam hal ini pun
mengandung pengekangan terhadap siswa. Ungkapan “barangkali ini tidak
sarapan ya” memiliki makna ejekan terhadap siswa. Dalam keseharian,
ungkapan tersebut sering kali digunakan untuk menggambarkan seseorang yang
tampil lemas atau tidak berte-naga.[1]
(2) G: Pinjami Fauzan, ya!
G: Kasihani temanmu. Tidak ada buku paketnya, tidak
ada LKS-nya, tidak bawa contoh surat juga [ ] dipakai temani
adeknya mandi di rumah, bikin kapal-kapal.
Tuturan (2) tersebut dituturkan guru ke-tika memeriksa
perlengkapan belajar siswa. Pada saat itu, guru menemukan siswa yang tidak
membawa perlengkapan sebagaimana yang telah disampaikan guru pada pertemuan
sebelumnya. Guru kemudian meminta siswa yang lain untuk membantu siswa tersebut
dengan menggunakan sindiran “kasihani temanmu”. Sindiran tersebut
semakin mendominasi siswa dengan tambahan ungkapan “dipakai adeknya mandi di
rumah, bikin kapal-kapal”. Meskipun diungkapkan de-ngan kata-kata yang
kedengaran halus, sindiran tersebut dapat mempermalukan siswa.
Sinisme juga diungkapkan guru dengan ungkapan yang
memiliki kelangsungan makna seperti dalam data berikut.
(3) G: Kemudian kelompok
empat! Pertama, isi cerita tidak dikuasai dengan baik. Pada
akhirnya, tidak mampu menyelesaikan isi cerita di depan kelas.
G: Tidak siap! Saya tidak tahu!
G: Inilah yang terbaik dari kelompok empat. Kalau
yang terbaik saja seperti ini, saya tidak bisa mengatakan apa-apa, bagaimana
dengan teman kelompoknya yang lain.
G: Moga-moga saja ada yang lebih baik, itu harapam kita!
Tuturan (3) tersebut diungkapkan guru ketika mengomentari
penampilan siswa yang mewakili salah satu kelompok. Dalam pandang-an guru,
siswa tersebut tampil sangat mengece-wakan. Meskipun hanya mengomentari siswa
yang tampil, sindiran yang diungkapkan guru dalam tuturan tersebut ditujukan
kepada seluruh siswa dalam kelompok tersebut. Bahkan, sin-diran tersebut lebih
melecehkan siswa yang lainnya. Secara tidak langsung, tuturan guru me-miliki
makna bahwa penampilan siswa yang lain akan jauh lebih jelek lagi andai diberi
kesem-patan.
Penggunaan sindiran dalam IPBI me-nunjukkan bahwa guru
menggunakan pende-katan kekuasaan dalam mengelola pembelajaran. Guru
menempatkan diri sebagai penguasa yang dapat mengendalikan siswa dan dapat
menga-takan segala sesuatu kepada siswa. Sebaliknya, siswa yang berada dalam
posisi lemah sering ka-li mendapat kritikan, cemoohan meskipun telah
mengerahkan kemampuan maksimalnya. Penge-lolaan pembelajaaran dengan pendekatan
otori-ter dapat menimbulkan sikap apatis.[2]Siswa
belajar tidak dilandasi rasa kesenangan, tetapi keterpaksaan.
2. Hiperbola
Hiperbola merupakan ungkapan yang melebih-lebihkan. Gaya
bahasa hiperbola dida-yagunakan guru untuk mengevaluasi penampilan siswa,
mengeritik, dan mengarahkan. Penggu-naan hiperbola dapat dilihat dalam data
berikut.
(4) G: Ternyata kelompok dua tidak siap!
G: Kelompok dua, intinya dikasih tugas satu tahun baru
bisa.
Tuturan (4) tersebut diungkapkan guru ketika seorang siswa
tampil menyampaikan hasil pekerjaannya tetapi tidak memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh guru. Guru menyimpulkan bahwa siswa yang bersangkutan tidak siap.
Un-tuk mengevaluasi penampilan siswa, guru mem-berikan komentar negatif dengan
gaya bahasa hiperbola. Ungkapan hiperbol guru terkandung dalam tuturan “dikasih
tugas satu tahun baru bisa”. Dalam realitasnya, tugas untuk siswa di
sekolah menengah tidak pernah diberikan dalam jangka waktu satu tahun. Makna
dalam ungkap-an tersebut mengandung sindiran bagi siswa.
Tuturan guru dengan gaya bahasa hiper-bola dalam tuturan
tersebut sangat berlebihan karena memberikan tugas kepada siswa dalam jangka
waktu satu tahun adalah hal yang mus-tahil. Tuturan tersebut mendominasi siswa
dan bahkan mempermalukannya di hadapan siswa lain. Tuturan demikian bahkan
dapat merusak kepercayaan diri seorang siswa sehingga tidak berani tampil pada
kesempatan lain.
Ungkapan hiperbol guru dalam menang-gapi penampilan siswa
dapat juga dilihat dalam data berikut.
(5) G: Gaya
berceritanya
monoton, terkesan tidak menarik karena tidak menguasai alur
ceritanya. Kemudian suara, intonasi nyaris tak terdengar. Bagaimana
teman-temanmu yang lain bisa menyimak kalau suaranya begitu lemah? Padahal,
dari awal Pak Guru sudah sampaikan bagaimana intonasinya, lalu kalimatnya ….
G: Ada pertanyaan sehubungan dengan apa yang Pak Guru
koreksi tadi? Ada? Bisa dipahami?
G: Bisa ya?
Tuturan (5) disampaikan guru ketika menanggapi penampilan
siswa yang bercerita. Siswa bercerita dengan suara terlalu kecil. Un-tuk
mengambarkan keadaan tersebut, guru menggunakan ekspresi hiperbolais “nyaris
tak terdengar”. Ungkapan itu merupakan ungkapan yang melebih-lebihkan.
Ekspresi hiperbol digunakan guru de-ngan
menghubung-hubungkan antara kebiasaan siswa di rumah dengan kegiatan belajar di
se-kolah. Tuturan (6) dan (7) berikut diungkapan guru dengan menghubungkan
antara kebiasaan menonton televisi di rumah dengan penampilan siswa dalam
belajar di sekolah.
(6) G: Menceritakan kembali isi
cerpen sesuai dengan alur aslinya.
G: Okey, yang biasa menonton sinetron, sampai di
sekolah biasanya belum sempat bernafas sudah menceritakan isi sinetron yang
ditonton.
G: Semua sudah pernah membaca cerpen.
Tuturan (6) tersebut disampaikan guru ke-tika menjelaskan
cara bercerita. Tuturan tersebut memiliki pranggapan bahwa (1) siswa yang
me-nonton di rumah biasanya ketika sampai di sekolah segera menceritakan
perihal yang diton-ton dan (2) jika siswa bisa menceritakan perihal yang
ditonton dari televisi, maka seharusnya juga bisa bercerita dengan baik dalam
belajar. Tuturan guru ini bermakna sindiran bagi siswa untuk tidak sekadar
hebat dalam menceritakan tontonan dari televisi, tetapi juga hebat dalam
pembelajaran bercerita di sekolah.
(7) G: Saya tidak
suruh Anda
menghafal, tetapi saya suruh Anda menceritakan kembali isi
cerita yang sudah Anda baca!
G: Dalam keseharian, kan Anda biasa nonton [ ] bahkan nonton
itu adalah kebutuhan Anda, mungkin melebihi kebutuhan Anda makan.
Tuturan (7) tersebut disampaikan guru ketika menjelaskan
tentang kegiatan melaporkan berita. Pada kesempatan itu, guru menjelaskan bahwa
berita-berita yang bisa dilaporkan siswa, salah satunya dari televisi. Tuturan
tersebut me-miliki praanggapan bahwa (1) siswa selalu me-nonton televisi dan
(2) menonton merupakan ke-giatan prioritas siswa dibandingkan makan se-kalipun
yang merupakan kebutuhan paling po-kok. Tuturan guru memiliki makna bahwa siswa
selayaknya hebat dalam melaporkan peristiwa karena mereka selalu menonton
televisi.
Penggunaan ekspresi hiperbol dalam IPBI merupakan ekspresi
yang mendominasi siswa. Melalui ekspresi hiperbol, guru menyam-paikan evaluasi
atau kritikan yang berlebih-le-bihan sehingga menempatkan siswa dalam posi-si
yang terdominasi. Menurut Naim dalam menghadapi siswa, guru harus
mengede-pankan sikap objektif. Sikap objektif merupakan bentuk usaha dari
seorang guru untuk memaha-mi dan menyikapi setiap persoalan secara
pro-porsional. Sikap objektif akan menjadikan guru mampu menghadapi siswa
dengan penuh kearif-an. Sebaliknya, sikap emosional kerap menjeru-muskan guru
dalam subjektivitas.[3]
Dalam mengevaluasi dan mengoreksi pe-nampilan siswa,
objektivitas penting dikede-pankan guru. Setiap siswa memiliki keterbatasan dan
sering kali mereka tidak mampu memenuhi kriteria minimal sekalipun. Oleh karena
itu, guru perlu bersikap objektif dan memahami bahwa siswa memiliki
variasi individual, memiliki keterbatasan. Jika harus menyampaikan kritik, maka
kritikan itu dilakukan dengan santun, tidak mempermalukan, dan tidak melukai
perasaan siswa.
3. Sarkasme
Sarkasme merupakan celaan getir yang mengandung kepahitan.
Sarkasme menyakiti hati dan kurang enak didengar. Sarkasme merupakan
bentuk sindiran yang didayagunakan guru dalam IPBI. Sarkasme digunakan guru
untuk mengoreksi perilaku tidak disiplin siswa. Berikut data yang mengandung
gaya bahasa sar-kasme.
(8) G : Kalau yang
tidak punya
kedisiplinan itu apa anak-anak?
S : Binatang!
G :Binatang dan hewan bukan anak sekolah
Tuturan (8) tersebut diungkapkan guru untuk menanggapi
perilaku tidak disiplin yang ditunjukkan siswa. Pada saat itu, dua orang siswa
terlambat datang dan langsung diinteroga-si oleh guru. Dalam tuturan tersebut,
guru mem-bandingkan binatang dengan siswa. Tuturan ter-sebut memiliki
praanggapan bahwa (1) perilaku tidak disiplin hanya dimiliki binatang dan (2)
siswa yang tidak disiplin sama dengan binatang.
Tuturan tersebut akan menyakitkan bagi siswa yang
bersangkutan sebab mereka disama-kan dengan binatang. Penggunaan ungkapan
binatang dan hewan bukan anak sekolah mem-berikan makna bahwa yang
bersangkutan berperilaku seperti binatang. Dengan demikian, mereka tidak patut
disebut anak sekolah.
(9) G: Baik, tentunya
Anda ingin
tahu kelompok siapa yang terbaik penampilannya dari yang
ada! Berapa?
S: Pertama!
G: Kelompok pertama dengan jumlah nilai 56.
G: Posisi pertama dari belakang. Yang paling
kurang maksimal adalah kelompok dua. Saya tidak tahu ada apa dengan kalian?
Tidak siap!
Tuturan (9) dituturkan guru di akhir pembelajaran ketika
menyampaikan nilai yang diperoleh siswa. Guru menyampaikan urutan-urutan
kelompok siswa dari yang terbaik hingga yang paling kurang. Penyampaian dengan
mimik serius dari guru menimbulkan kesan penghinaan bagi siswa. Apalagi dengan
penggunaan tuturan “posisi pertama dari belakang” dan “paling kurang
maksimal” mengesankan bahwa penam-pilan siswa sungguh buruk.
Penggunaan sarkasme menunjukkan bahwa guru menerapkan
pendekatan kekuasaan dalam IPBI. Dalam menegakkan kedisiplinan dan mengevaluasi
penampilan siswa, guru tidak segan-segan menggunakan ungkapan yang da-pat
menyakiti perasan siswa. Guru merasa me-miliki kewenangan dan kekuasaan
mengungkap-kan ungkapan tertentu kepada siswa. Pilihan bahasa yang menggunakan
ungkapan-ungkapan yang dapat menyakiti hati siswa disebabkan oleh posisi guru
yang dominan terhadap siswa. Do-minasi guru diperoleh melaui kewenangan yang
dimiliki maupun akses pada ilmu pengetahuan. Posisi siswa dengan guru yang
tidak setara mempengaruhi pilihan-pilihan bahasa guru.
Menurut Yamin Dalam berkomunikasi di dalam kelas, prinsip
memanusiakan anak didik merupakan salah satu pendekatan yang harus diutamakan. Komunikasi
dibangun atas dasar saling melengkapi dan saling mengisi, saling memberi penguatan,
bukan saling menjatuh-kan. Komunikasi yang setara akan membangun relasi yang
solid sehingga menutup ruang untuk saling menindas.
Freire mengemuka-kan bahwa komunikasi dalam pendidikan harus
menghindarkan diri dari segala bentuk penin-dasan. Melalui komunikasi yang
setara, guru dapat meluruskan hal salah dan keliru tanpa melukai perasaan
siswa. Hal inilah yang meru-pakan salah satu dimensi dari pendidikan kritis
yang harus dikembangkan dalam interaksi de-ngan siswa.[4]
4. Eufemisme
Eufemisme merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan
yang halus dalam mengungkapkan suatu realitas. Eufemisme digu-nakan untuk
menjaga kesopanan dan menghin-dari ungkapan yang menyakitkan mitra tutur.
Eufemisme dalam IPBI dapat dilihat dalam data berikut.
(10) G: Jangan mempersulit diri
sendiri! Maksudnya, coba ingat kejadian atau peristiwa yang
pernah Anda saksikan di sekeliling Anda! Yang sebenarnya Anda punyai banyak
pengalaman, banyak kejadian yang pernah Anda lihat ….
G: Hanya beberapa orang yang lumayan bagus, paling
tidak mentalnya, bahasanya, sudah cukup lancar.
Tuturan (10) merupakan komentar guru dalam mengevaluasi
hasil belajar siswa. Dalam penilaian guru, secara umum hasil belajar siswa
buruk. Namun, dalam memberikan evaluasi guru ingin menjaga relasi dengan siswa
melalui ekspresi eufemisme. “Hanya beberapa orang yang lumayan bagus” memiliki
makna bahwa (1) tidak seorang pun siswa yang memenuhi kriteria bagus dan (2)
sebagian besar hasil pe-kerjaan yang lain berkategori tidak bagus. Peng-gunaan
eufemisme tersebut bertujuan meng-hindari komentar yang dapat menyakiti atau
menurunkan motivasi belajar siswa.
(11) G: Saya amati beberapa pekerjaan dalam
mengambil kesimpulan, itu tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan.
Tuturan (11) merupakan cuplikan kome-ntar guru yang
memberikan penilaian terhadap hasil pekerjaan siswa. Eufemisme “itu tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan” memiliki makna bahwa kesimpulan yang
diberikan oleh siswa salah. Pendayagunaan eufemisme dalam tuturan tersebut
menghindarkan guru dari pemberian kritikan secara langsung.
Eufemisme juga digunakan guru untuk menyindir siswa.
Penggunaan eufemisme yang bertujuan menyindir dapat diperhatikan dalam data
berikut.
(12) G: Silakan dikumpul!
Selesai tidak selesai dibawa ke depan!
G: Fina! (memohon segera dikumpul)
G: Sebenarnya pekerjaan ini hanya 15 menit!
Tuturan (15) disampaikan guru untuk menyindir siswa yang
mengerjakan tugas mele-wati batas ideal waktu pengerjaan. Dalam pan-dangan
guru, tugas yang diberikan dapat disele-saikan dalam 15 menit saja. Namun,
dalam kenyataannya, siswa tidak mampu menyelesai-kan tugas dalam batas waktu
tersebut. Peng-gunaan eufemisme “Sebenarnya pekerjaan ini hanya 15 menit!” bermakna
sindiran kepada siswa bahwa mereka terlalu lambat dalam men-yelesaikan tugas.
Penggunaan eufemisme dalam IPBI da-lam tuturan (13), (14),
dan (15) bertujuan menyamarkan dominasi guru dalam memberikan kontrol terhadap
siswa. Makna dari kritikan ataupun evaluasi yang disampaikan guru terke-san
jauh dari sikap arogansi. Guru memberikan evaluasi tetapi tidak terkesan
menggurui. Guru menyalahkan siswa, tetapi tidak melukai peras-aan mereka. Hal
ini sangat kontras dengan peng-gunaan sindiran melalui gaya bahasa sarkasme (diseufemisme).
Dalam relasi kekuasaan, Buordieu dalam Rusdiarti mengemukakan bahwa bentuk
eufemisme merupakan wujud dari penguasaan simbolik. Senada dengan itu, Drummond
mengemukakan bahwa simbol dapat digunakan untuk mengendalikan perilaku orang
lain dengan cara menem-patkan mereka pada posisi penting. Penggunaan kritikan
yang berlebihan dalam IPBI dapat membuat siswa merasa diri tidak penting, tidak
berguna atau tidak mampu. Dengan meng-gunakan eufemisme, kritikan guru tidak
terasa memojokkan siswa sehingga mereka tetap merasa menjadi bagian penting
dari proses pembelajaran.
B. Sikap atau Prilaku Gurudan Suara Guru dalam Mengajar
Guru
merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar
terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam
membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara
optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga
ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.[5]
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara
optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta
didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik,
mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan
mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Kesalahan
guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru
secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya
sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa,
menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat
memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari
sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah
frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak
benar.
v Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen
dalam Walgito menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang
yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu
keadaan atau suatu objek.[6]
Berkowitz, dalam Azwar menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah
perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi atau respon atau
kecenderungan untuk bereaksi.[7]
Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu
senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau
menjauhi/menghindari sesuatu.
Dari pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat
atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak
sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam
menghadapi suatu objek. Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari
tiga komponen yang terdiri atas:
a)
Komponen kognitif, Komponen ini berkaitan dengan
pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan
dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.
b)
Komponen afektif Komponen afektif terdiri dari seluruh
perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa
rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal
yang negatif..komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif.
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap
suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan
dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan
pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.[8]
c)
Komponen konati, Komponen ini merupakan kecenderungan
seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini
menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas
merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut
saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan
tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui
komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap.
Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan
tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam
setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan
emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif
akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan
perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi
konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada
kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun
bertingkah laku secara nyata.
Katz sebagaimana yg dikutip oleh
Walgitomenjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi,[9]
yaitu:
a)
Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau
fungsi manfaat.Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap
merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana
objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek
sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan
bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek
sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif
terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang
artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi
ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil
seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.
b)
Fungsi pertahanan ego, Ini merupakan sikap yang diambil
oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil
seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya
atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan ego.
Fungsi ekspresi nilai, Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan. Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Fungsi ekspresi nilai, Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan. Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Sikap yang
ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor
fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat
berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam
masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam
masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri
seseorang.
Azwar menjelaskan bahwa, metode
yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku
Kalau
seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah
mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak
menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih,
bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu
bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang
sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi
indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap
warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap
perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.
2. Pertanyaan langsung
Asumsi yang
mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah
asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya
sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan
mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan langsung
Suatu metode
pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara
tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan
menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat
sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap
tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian
respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk
menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan
menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.
v Sikap
dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah
sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain
melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal
bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun
dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun
paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa
sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan ini
mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan
faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang
melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak
disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan
itu antara lain:
1. mengambil jalan pintas dalam
pembelajaran,
2. menunggu peserta didik
berperilaku negatif,
3. menggunakan destruktif
discipline,
4. mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
5. merasa diri paling pandai di kelasnya,
5. merasa diri paling pandai di kelasnya,
6. tidak adil (diskriminatif),
serta
7. memaksakan hak peserta didik.
Untuk
mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus
memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang
Dosen dan Guru, yakni:
1. kompetensi pedagogik adalah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
2. kompetensi kepribadian adalah
kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta
menjadi teladan peserta didik,
3. kompetensi profesional adalah
kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
4. kompetensi sosial adalah
kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien
dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar.
C. Suara Guru dalam Mengajar
v Variasi
suara
Variasi suara dalah perubahan suara
dari keras menjadi lemah, dan tinggi menjadi rendah, dari cepat menjadi
lambat.Suarang guru pada saat menjelaskan materi pelajaran hendaknya
bervariasi, baik dalam intonasi, volume, nada dan kecepatan. Jika suara guru
senantiasa keras terus atau terlalu keras, justru akan sulit diterima, karena
siswa menganggap gurunya seorang yang kejam, bila sudah begitu siswa diliputi
oleh rasa cemas, ketakutan selama belajar.
Masalah seperti ini yang harus dihindari bahkan ditiadakan. Tapi kalau suara guru terlalu lemah (biasanya guru wanita) akan terdengar tidak jelas oleh siswa dan tidak bisa menjangkau seluruh siswa di kelas, apalagi yang duduknya dideretan belakang. Bila sudah begitu siswa akan meremehkan gurunya, perhatian siswa terhadap materi yang diberikan itupun kurang. Untuk itu guru menggunakan variasi suara yang disesuaikan ndengan situasi dan kondisi. Jadi suara guru senantiasa berganti-ganti, kadang meninggi, kadang cepat, kadang lambat, kadang rendah (pelan).
Masalah seperti ini yang harus dihindari bahkan ditiadakan. Tapi kalau suara guru terlalu lemah (biasanya guru wanita) akan terdengar tidak jelas oleh siswa dan tidak bisa menjangkau seluruh siswa di kelas, apalagi yang duduknya dideretan belakang. Bila sudah begitu siswa akan meremehkan gurunya, perhatian siswa terhadap materi yang diberikan itupun kurang. Untuk itu guru menggunakan variasi suara yang disesuaikan ndengan situasi dan kondisi. Jadi suara guru senantiasa berganti-ganti, kadang meninggi, kadang cepat, kadang lambat, kadang rendah (pelan).
Variasi suara bisa mempengaruhi
informasi yang sangat biasasekalipun, gunakanlah bisikan atau tekanan suara
untuk hal-hal penting, gunakan kalimat pendek yang cepat untuk menimbulkan
semangat.
Lagu bicara atau intonasi suara
mempunyai pengaruh pada dayatangkap siswa terhadap pembicaraan guru. Lagu
bicara yang datar (monoton) akan membosankan siswa, sehingga siswa cepat lelah
dalam mendengarkan. Demikian pula lagu bicara yang naik turun atau
bersendat-sendat.
Hal seperti ini sering menjadi bahan
tertawaan siswa dan cenderung ditirukan dengan maksud mengejek, akibatnya
konsentrasi mereka rusak. Disini juga menganjurkan adanya tekanan bicara, yang
mana diberikan pada hal-hal yang penting, misalnya dalam menyebutkan definisi, istilah,
nama, rumus, dan kata-kata asing dengan ucapan
pelan-pelan dan jelas dengan volume suara yang cukup. Kelancaran bicara juga patut diperhatikan karena mempunyai pengaruh yang besar pada daya tangkap siswa.
pelan-pelan dan jelas dengan volume suara yang cukup. Kelancaran bicara juga patut diperhatikan karena mempunyai pengaruh yang besar pada daya tangkap siswa.
Jadi, seyogyanya sebelum satu
kalimat dikeluarkan atau dibicarakan lebih dulu difikirkan susunan yang benar
ditinjau dari segi tata bahasa. Ucapan bahasa daerah sebaiknya tidak
dipergunakan.
Suara guru memiliki peranan penting dalam melahirkan kualitas variasi
mengajar.Karena itu , intonasi , nada , volume dan kecepatan suara guru perlu
diatur dengan baik.Umpannya dalam melukiskan dan mendramatisasikan suatu
peristiwa atau kata , guru mesti mengetahui kata atau peristiwa yang harus mendapat
penekanan.
Jadi beberapa hal yang perlu di perhatikan guru , sebagai berikut :
· Penekanan , penekanan dilakukan kepada
beberapa peristiwa atau kata kunci dalam materi pelajaran yang tengah
disampaikan agar siswa memahami aspek - aspek yang terpenting dari materi
pelajaran yang diterimanya.
· Pemberian waktu, setelah guru menyampaikan materi
pelajaran, siswa perlu diberi waktu untuk menelaah kembali dan
mengorganisasikan pertanyaan
· Kontak Pandang, Selama menyampaikan materi
pelajaran tidak dibenarkan seorang guru hanya memandang ke luar , ke atas atau
ke siswa tertentu saja.Guru hendaklah berbagi pandangan kepada seluruh siswa
· Gerakan Anggota Badan, Selama menyampaikan materi,seorang
guru hendaklah tidak seperti patung atau tidak seperti orang yang lumpuh .Guru
perlu bergerak secara leluasa seperti mengelilingi siswa atau bergerak di depan
kelas.
· Pindah posisi ,Dengan bergerak berarti guru tidak
berada dalam satu posisi saja, melainkan ia berpindah - pindah.Perpindahan
posisi ini selain bermanfaat bagi guru itu sendiri agar tidak jenuh , juga agar
perhatian siswa tidak monoton.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wujud gaya bahasa yang didayagunakan guru dalam interaksi
pembelajaran, meliputi: (1) sinisme, (2) hiperbola, (3) sarkasme, dan (4)
eufemisme. Gaya bahasa tersebut menunjukkan posisi guru yang mendominasi siswa
dalam interaksi pembelajaran. Relasi guru-siswa menunjukkan posisi yang tidak
seimbang. Guru berada pada posisi mengontrol, sedangkan
siswa dalam posisi yang dikontrol. Penggunaan gaya bahasa tersebut memiliki
efek secara psikologis terhadap siswa, misalnya mempermalukan siswa, menekan,
dan mengekang.
Sikap
adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan
tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek.
Suara adalah perubahan suara dari keras menjadi lemah, dan
tinggi menjadi rendah, dari cepat menjadi lambat.Suarang guru pada saat
menjelaskan materi pelajaran hendaknya bervariasi, baik dalam intonasi, volume,
nada dan kecepatan. Jika suara guru senantiasa keras terus atau terlalu keras,
justru akan sulit diterima, karena siswa menganggap gurunya seorang yang kejam,
bila sudah begitu siswa diliputi oleh rasa cemas, ketakutan selama belajar.
Masalah seperti ini yang harus dihindari bahkan ditiadakan.
Masalah seperti ini yang harus dihindari bahkan ditiadakan.
B. Penutup
Dalam Penulisan Makalah ini, penulis
merasa masih banyak kekurangan, baik dalam bahasa maupun penulisannya. Hal
tersebut tidak lain karena dari keterbatasan penulis dari ilmu pengetahuan dan
kemampuan penulis yang dimiliki.
Sekalipun demikian, mudah – mudahan Makalah ini dapat Berguna dan Bermanfaat
bagi penulis dan umumnya bagi pendengar.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys. 2002, Diksi dan
Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Abdul Azis Wahab. 2008,Metode dan
Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Naim, Ngainum. 2009, Menjadi Guru
Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Freire, Paolo. Tanpa Tahun. Politik
Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh Agung
Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. 2007, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyasa.
2005, Menjadi Guru Profesional.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Walgito, Bimo. 1990,Psikologi
Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
UGM.
Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[1]Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya
Bahasa. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001)., hlm. 33
[2]Abdul Azis Wahab. Metode dan
Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial.(Bandung: Alfabeta. 2008)., hlm. 17
[3]Naim, Ngainum. Menjadi Guru
Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009).,
hlm. 45
[4]Freire, Paolo. Tanpa Tahun. Politik
Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh Agung
Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007).,
hlm. 9
[5] Mulyasa. Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005)., hlm.
10
[6]Walgito, Bimo. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi UGM. 1990)., hlm. 108
[7]Azwar Saifuddin, Sikap Manusia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000)., hlm. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar